OPINI Putri Agustina Mahasiswa fakultas Kesehatan prodi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman
Rumah sakit sebagai tempat kerja yang memberikan risikopaparan biologis dan penularan infeksi bagi tenaga kesehatan, seperti biologis, fisik, kimia, ergonomis, dan psikososial. Risiko ini bisa terjadi secara terus-menerus atau sesekali. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa cedera dan paparankerja masih menjadi masalah yang terstruktur, terutama di negara berkembang. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang menyeluruh dan sesuai dengan konteks setempat. Bukti dari masa pandemi menunjukkan bahwa para tenaga kesehatan menghadapi risiko terinfeksi yang lebih tinggi karena paparan pekerjaan, terutama sebelum vaksin tersedia dan di saat ventilasi serta penggunaan alat pelindung diri (APD) tidak memadai.
Hal ini menegaskan perlunya kebijakan pelindungan yang didasarkan pada bukti, seperti memilih dan menggunakan APD yang tepat, menerapkan kontrol teknis seperti sistem ventilasi yang baik, serta melakukan pemantauan infeksi secara aktif dan terus-menerus.
Namun, upaya pelindungan ini tidak hanya tentang kebijakan teknis, melainkan juga adalah bentuk investasi moral dan profesional untuk menjaga kelangsungan layanan rumah sakit.
Paparan infeksi tidak hanya membahayakan tenaga medis, tetapi juga berpotensi menyebar ke pasien, keluarga, dan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, pendekatan pencegahan bukan hanya dilihat sebagai beban biaya, tetapi juga sebagai bagian penting dari tanggung jawab rumah sakit dalam memastikan keamanan bersama.
Terkadang, kebijakan sudah ada, tetapi pengawasan yang lemah, fasilitas yang terbatas, atau kurangnya budaya disiplin menyebabkan praktik perlindungan tidak maksimal. Maka, strategi yang menekankan pelatihan terus-menerus, budaya keselamatan, serta keterlibatan aktif pengelola rumah sakit menjadi kunci untuk memastikan perlindungan kepada tenaga kesehatan benar-benar terwujud, bukan hanya tertulis dalam dokumen kebijakan saja.
Studi global menunjukkan bahwa penggunaan APD yang tidak memadai, ventilasi yang buruk, serta kontak langsungdengan pasien yang terinfeksi adalah faktor risiko utamadalam penyebaran infeksi kepada tenaga kesehatan.
Hasilnya menunjukkan odds ratio yang meningkat secarasignifikan jika kondisi tersebut tidak diperhatikan. Faktor lingkungan kerja seperti ventilasi yang tidak baik, penggunaanAPD yang tidak konsisten, serta kontak erat dengan pasienyang terinfeksi menyebabkan meningkatkan risiko terinfeksibagi tenaga kesehatan.Fenomena ini terjadi di berbagai negara dan jenis rumah sakit termasuk Indonesia.
Selain factor lingkungan, Faktor individu sepertipengalaman kerja, jam kerja yang berlebihan, sertakelelahan atau stres juga berperan penting dalammenentukan apakah paparan biologis akan mengarahpada infeksi. Banyak riset nasional menunjukkan buktiempiris bahwa penggunaan APD yang memadai, pelatihan yang baik, serta perlunya pemantauan aktifsecara efektif dapat mengurangi risiko infeksi. Saya yakinbahwa pengendalian risiko paparan biologis dan penularan infeksi di rumah sakit bisa berhasil jikadilakukan secara konsisten di lapangan dan didukungoleh sumber daya yang cukup, kesadaran tenaga medisuntuk mematuhi prosedur, serta komitmen ManajemenKeselamatan dan Kesehatan Kerja (MK3) dalammenciptakan budaya keselamatan. Tanpa dukungan yang memadai dari segi teknis, organisasi, dan perilaku, kebijakan yang sudah dibuat bisa saja hanya jadidokumen tanpa manfaat nyata. Maka itu, kerja samayang baik antara penyedia fasilitas, tenaga medis, dan pihak yang membuat kebijakan sangat penting agar setiapupaya perlindungan benar-benar bisa mengurangi insidenterhadap paparan biologis dan penularan infeksi pada tenaga Kesehatan demi menjaga kelangsungan pelayanankesehatan.









