Balikpapan, 22 Maret 2025 – Kuasa hukum Nurfaidah, Mansyur, mendesak Polda Kalimantan Timur untuk segera menahan Irma Suryani, yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan dan pengancaman. Ia menilai bahwa dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara, seharusnya penyidik langsung melakukan penahanan.
“Ini sudah tiga tahun sejak laporan dibuat pada 2021, tetapi tersangka baru ditetapkan awal 2025. Kami mendesak agar Irma segera ditahan untuk menghindari risiko melarikan diri,” ujar Mansyur, Sabtu (22/3).
Mansyur menjelaskan, kasus ini bermula dari kerja sama bisnis barang branded dan berlian antara Nurfaidah dan Irma Suryani sejak 2012. Hubungan bisnis itu memburuk ketika Irma menuduh Nurfaidah memiliki utang dan kemudian mengambil sejumlah aset berharga milik Nurfaidah, termasuk sertifikat tanah, BPKB mobil, jam tangan mewah, serta berlian yang telah lunas dibayar. Total nilai aset yang diambil diperkirakan mencapai Rp16 miliar.
“Bahkan ada informasi bahwa beberapa sertifikat tanah sudah dibaliknamakan menjadi milik Irma Suryani,” tambahnya.
Mansyur menegaskan bahwa berdasarkan rekening koran, Irma telah mengeluarkan Rp3,03 miliar untuk bisnis tersebut, sementara Nurfaidah telah mengembalikan Rp4,7 miliar. “Jadi kalau bicara bisnis, justru Irma sudah untung, tapi malah mengambil paksa aset klien kami,” katanya.
Setelah laporan pemerasan dan pengancaman diajukan ke Polda Kaltim pada 2021, kasus ini sempat mandek hingga 2024. Tim kuasa hukum Nurfaidah kemudian mengajukan permohonan perlindungan hukum dan meminta gelar perkara khusus pada Desember 2024. Dalam gelar perkara tersebut, Irma Suryani disebut mengakui bahwa barang-barang milik Nurfaidah memang ada padanya.
Saat ini, berkas perkara sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim. “Kami berharap berkas segera dinyatakan lengkap (P21) agar kasus ini bisa segera diuji di pengadilan,” kata Mansyur.
Pihak Irma Suryani Pertanyakan Kejanggalan Proses Hukum
Sementara itu, kuasa hukum Irma Suryani, Jumintar Napitupulu, mempertanyakan proses hukum yang menjerat kliennya. Ia mengungkapkan bahwa persoalan ini justru berawal dari dugaan penipuan cek kosong yang dilakukan oleh Nurfaidah.
Pada 2016, kata Jumintar, Irma menginvestasikan Rp2,7 miliar dalam bisnis kelautan yang dijalankan Nurfaidah, dengan kesepakatan pembagian hasil 40-60 persen. Namun, pembayaran yang dijanjikan tak kunjung terealisasi, hingga Nurfaidah memberikan cek senilai Rp2,7 miliar. Saat dicairkan pada 2017, cek tersebut ternyata kosong.
Irma kemudian melaporkan dugaan penipuan ke Polresta Samarinda pada 2020, tetapi kasus tersebut dihentikan dengan status SP3 pada 2021. “Bagaimana mungkin cek kosong tidak dianggap sebagai tindak pidana?” ujarnya.
Jumintar juga menegaskan bahwa dokumen seperti sertifikat tanah dan BPKB yang dipermasalahkan, sejatinya diserahkan langsung oleh Nurfaidah kepada Irma. Ia meminta agar kasus ini diungkap secara adil dan menegaskan bahwa kliennya tetap kooperatif dalam menghadapi proses hukum.
“Kita tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah. Seorang tersangka belum tentu bersalah hingga ada putusan pengadilan,” pungkasnya.
Kasus ini kini tengah memasuki tahap penelitian berkas di Kejati Kaltim. Semua pihak menunggu keputusan jaksa, apakah perkara ini akan segera dilanjutkan ke persidangan atau masih membutuhkan perbaikan berkas oleh penyidik.









